Rabu, 02 Juni 2010

Christmas Carol Ch.1 Winter Wonderland

Disclaimer:
1.Saya bukan yang punya Ryokubita, Cuma numpang sekolah kok.
2.Issei Sasaki (atau Issei Niwa) dan Takumi Ogasawara itu punya saya
3.Hitose Sasaki dan Sarasa Ikari itu punya Beruang Hitam
4.Judul FF dan chapternya saya ambil dari lagu-lagu natal yang saya tidak tahu siapa penciptanya karena emang anonym dan juga saya tidak tahu siapa penyanyinya karena saking banyaknya yang pernah nyanyiin.

Sekedar Cuap-cuap:
FF pertama di Ryoku! ini ditulis sebagai balasan atas FF-nya Hiikun yang Last Christmas. Dan saya sedang tidak bisa membuat siapapun menangis, maka jangan harapkan ada kisah sedih. Sepertinya masih terlalu kebawa feelnya Issei yang sinting itu *dihajar chara*, dan saya tahu ini aneh. Bahkan mungkin ga terlalu nyambung sama FF-nya Hiikun sih.

Btw, Takumi 23 tahun dan Issei 23 tahun Sepertinya saya memang glasses fethisis

Lalu, penampilan normal Sarasa, ada juga penampilan Sarasa saat manggung, terakhir kakak tersayang Hiikun



Christmas Carol


#1 Winter Wonderland

Sleigh bells ring, are you listening
In the lane, snow is glistening
A beautiful sight
We're happy tonight
Walking in a winter wonderland


Sebagian orang yang berjiwa puitis mungkin akan mendeskripsikan pemandangan di luar jendela dengan kata-kata seperti di dalam dongeng. Bahwa pemandangan Sapporo saat ini nampak seperti kota kecil yang ada di dalam bola Kristal yang jika digoyangkan akan menghamburkan butiran putih. Atau mungkin kalau perlu, tambahkan juga deskripsi adanya musik klasik yang mengalun mengiringi butiran putih yang terus jatuh itu.

Tapi, bagi pria yang tengah duduk di ujung meja, pemandangan kota yang serba putih tidak terlalu menyenangkan. Otaknya tidak merasa cocok dengan panorama a la televisi jaman dulu yang hanya berisi putih, hitam dan abu-abu. Dan tolong realistis sedikit, pada minggu terakhir bulan desember musik yang banyak terdengar pastilah lagu-lagu natal dan lagu-lagu liburan. Yah meski tak menutup kemungkinan ada orang-orang yang tetap suka mendengar lagu-lagu klasik yang sering membuat kepalanya sakit.

“—menurut analisis pasar yang kami lakukan, konsumen belum siap untuk produk baru. Selain itu—“

Pria yang bulan lalu baru saja merayakan ulang tahun ke 23-nya itu membenahi letak kaca matanya dengan tampang bosan. Kali ini bukan kaca mata besar tanpa lensa yang bertengger di hidungnya, masa-masa untuk kaca mata seperti itu telah lewat. Dan kini digantikan kaca mata minus 0 dengan frame tebal yang ia pakai hanya karena kebiasaan juga karena sahabatnya mengatakan ia terlihat pandai dengan kaca mata seperti itu. Kesan yang bisa membuat orang-orang percaya pada kemampuannya untuk mengurus sebuah cabang perusahaan milik keluarganya.

Kalimat-kalimat yang bergantian diucapkan beberapa orang yang duduk mengelilingi meja oval tempat ia menekan-nekan tombol-tombol pada keyboard laptopnya hampir tidak bisa menembus gendang telinganya. Pikirannya tertuju pada artikel yang tadi pagi ia unduh dan kini tengah ia baca dengan tampang paling serius yang bisa diharapkan darinya. Judul artikel itu tertulis besar-besar: “Sarasa Ikari: Generasi Baru Seni Tradisional Jepang”, dan telah ia baca berkali-kali hingga ia sudah hapal tiap katanya.

“—Niwa-kaichou? Niwa-kaichou? NIWA-KAICHOU!”

Tersentak. Direktur muda itu mendongak pada wanita bertampang galak yang menyebut namanya. Sementara di ujung lain meja, Takumi, sahabatnya memberikan tanda agar ia menoleh ke belakang, pada layar yang tengah menampilkan sebuah gambar yang tersanding di samping artikel. Potret Sarasa Ikari dalam balutan kimono merah muda. Tepat seperti yang terpampang dalam monitor laptopnya. Tak perlu menjadi jenius untuk tahu bahwa pasti ia tadi telah tak sengaja menekan tombol untuk menyambungkan laptopnya dengan proyektor.

“Ehem,” sekedar ingin menengakan ruang rapat, khususnya sahabatnya yang wajahnya sudah merah menahan tawa, “aku berencana menggunakannya untuk iklan kita berikutnya,” membela diri. “Dan karena sudah hampir jam satu mungkin kita sebaiknya reses makan siang, aku harap dalam 45 menit setiap orang sudah kembali ke ruang rapat.”

***

“Hahaha,” Takumi tertawa dengan bebas sambil menepuk-nepuk bagian belakang kepala sahabatnya, “Issei, Issei, kapan sih kau bisa bertingkah normal?”

“Panggil aku Niwa-kaichou! Dan aku SUDAH bertingkah normal,” wajahnya seolah tampak kesal.

Dua orang sahabat sejak kecil itu baru saja menyelesaikan makan siang mereka. Dan meski udara dingin terus mengganggu, namun sudah tak ada lagi salju yang turun. Masih ada 15 menit hingga waktu istirahat berakhir dan mereka memilih mendinginkan kepala—secara harfiah—dengan duduk-duduk di taman. Rapat perencanaan di akhir tahun tidak pernah berada dalam daftar teratas yang akan dilakukan oleh mereka saat musim liburan seperti ini.

“Niwa-kaichou kan kalau di dalam kantor,” menyeringai, “kalau di luar, kau tetaplah Issei Sasaki. Dan jangan memaksaku memanggilmu Issei Niwa, aku masih belum terbiasa. Dan tingkahmu di ruang rapat sama sekali tidak normal,” menenggak sisa kopi kalengan di tangannya, “mana ada direktur yang membuka-buka artikel selebritis saat rapat perencanaan.”

Issei tersenyum hambar, “Kenapa kehidupan kantor tidak semenarik fotografi? Memeriksa berkas-berkas juga tak semenarik memperhatikan kehidupan serangga. Satu-satunya perubahan yang ku sukai adalah saat aku diundang pada acara-acara perjamuan tempat aku bisa makan apa pun yang aku inginkan.”

Lagi. Takumi menepuk bagian belakang kepala sahabatnya, sama sekali tidak mempedulikan seringai kesakitan Issei, “kau pasti sangat menyukai dia sampai-sampai kau rela menjalani kehidupan yang kau sebut tak menarik ini,” melirik pada Issei, ia ragu-ragu menambahkan, “ Jujur aku sangat terkejut saat kau bilang kau akan memutuskan hubungan keluarga dengan keluarga Sasaki dan kembali pada keluarga Niwa. Ini semua demi dia kan? Kau sudah menyatakan cintamu padanya, eh?” terlihat seringai nakal di wajah Takumi.

In the meadow we can build a snowman
And pretend that he's a circus clown
We'll have lots of fun with mister snowman
Until the other kids knock him down


Issei diam lama mendengarkan lagu khas liburan musim dingin itu terbawa angin. Suaranya berasal dari TK di seberang jalan. Memejamkan mata sambil tersenyum sekilas, membayangkan masa-masa kecilnya bersama tiga orang terdekatnya. Masih bersyukur bahwa dari tiga orang itu salah satunya kini berada di sampingnya, meski cerewetnya sudah melebihi anak perempuan. Suka bergosip pula. Kini Issei bertanya-tanya bagaimana kabar dua orang lainnya.

“Takkun, kau dengar lagu barusan? kau masih ingat? Waktu kita kecil kita berempat juga sering membuat manusia salju, lalu kita juga membuat rumah es sederhana dan mengurung Sarasa di dalamnya? Waktu Hiikun tahu kita mengurungnya dia melempari kita dengan bola salju sampai-sampai dimarahi oleh nenekku karena pulang dengan baju basah kuyup,” tersenyum getir.

Entah kenapa dua nama yang ia sebutkan kini terasa menyakitkan untuk diucapkan. Padahal sebelumnya nama itu sangat sering terlafalkan. Dua nama yang sering ia panggil baik secara langsung, melalu telepon, atau hanya sekedar dituliskan dalam pesan singkat. Tapi kini, nama itu terdengar asing setelah lama—berapa bulan ya?—tidak pernah terlontar dari bibirnya. Ah, sejak ia kembali ke keluarga Niwa, hanya Takumi yang masih berhubungan dengannya. Itu pun karena Takumi sudah terlanjur bekerja di kantor cabang yang kini dipimpin Issei. Kadang-kadang ia berpikir bahwa jika bukan karena pekerjaan, Takumi juga mungkin akan menjauh darinya.

Apakah memang kembalinya Issei ke dalam keluarga Niwa sama sekali tak membawa sisi baik? Semua sepupunya—dari keluarga Niwa—kini membencinya karena munculnya satu saingan untuk berebut warisan. Selain itu, hubungannya dengan teman-teman lamanya pun seolah terhapus begitu saja. Tidak ada yang mau mengerti bahwa saat itu Issei tak punya pilihan lain selain pergi dari keluarga Sasaki. Bahkan ide untuk pergi pun bukan Issei yang mencetuskan.

“Kau pernah bertemu Hiikun dan Sarasa lagi?” Issei kembali berujar.

Dan entah untuk yang keberapa kalinya hari ini, pukulan keras kembali melayang ke belakang kepala Issei, “Issei bego, jangan mengalihkan pembicaraan! Jawab dulu pertanyaanku.”

Menghela napas kesal, Issei balas memukul kepala Takumi, “Panggil aku Niwa-kaichou! Aku tidak bego, dan tidak sedang mengalihkan pembicaraan, kau yang mengalihkan pembicaraan!”

Takumi meraup segenggam salju dan melemparkannya ke arah Issei, “kau yang lebih dulu mengalihkan pembicaraan!”

Issei sudah hampir membalas perlakuan sahabatnya ini, hanya saja telepon genggamnya berdering. Telepon genggam yang sama dengan nomor yang sama saat ia masih menjadi seorang Sasaki. Bahkan foto stiker yang tertempel di bagian belakang telepon genggam itu masih sama. Masih menunjukkan wajah-wajah tersenyum empat orang sahabat yang berdesakkan di dalam foto boks. Sempat kecewa karena nama yang tertera di layar LCD-nya bukanlah yang ia inginkan. Tapi kemudian membuka mulutnya lebar-lebar ketika nama pada layar yang terus berkedip-kedip itu akhirnya merasuk dalam jaringan neuronnya.

“Takumi bego!” menggenggam kerah jaket sahabatnya, “rapatnya!” menyeret sang sahabat yang terus berusaha melepaskan diri sambil setengah berlari.

“Kau yang bego,” terbatuk kecil sambil terus berlari, “mana ada direktur yang datang terlambat pada rapat yang ia adakan sendiri, hah?”

Dan angin masih terus membisikkan nyanyian anak-anak TK yang beberapa hari lagi akan menyambut natal. Disela dengan tawa dan ejekan dua sahabat yang masih terus berlari. Sama sekali tak perduli pada tatapan orang-orang yang mereka lalui. Seolah mereka berlari dalam dunia mereka sendiri, dalam dunia dongeng yang selalu diliputi musim dingin. Sebuah dunia ajaib penuh salju abadi.

When it snows, ain't it thrilling
Though your nose gets a chilling
We'll frolic and play, the Eskimo way
Walking in a winter wonderland.